A documentary film about Igor Tamerlan, a pioneer beyond his time, only to be forgotten.
Projects
Artistic journeys in Bali.


Made di Bali
Capturing the essence of tranquility.


Cultural Fusion
Exploring local traditions and art.


Checkered Igor Tamerlan
Jejak kesukaan Igor memakai baju bercorak checkered terlacak sejak fotonya di sampul majalah tahun 1981. Memegang saxofon dan memakai kaos The Specials, Igor Tamerlan si paling ska.
Alfred Pasifico Ginting
Saat nama Rollfast tengah berkibar, Agha Praditya menemukan review media luar negeri tentang bandnya yang disebut seperti tidak terdengar dari Bali. Tapi seperti musik rock dari padang gurun di Amerika. Agha kemudian dihinggapi pertanyaan tentang identitas bermusik Rollfast yang sering dianggap black Sabbath-nya Pulau Seribu ̷P̷u̷r̷a̷ Ruko.
Rollfast tidak menyuntikkan konteks lokal dalam karya mereka. Agha terngiang oleh pertanyaan bagaimana seharusnya musik rock yang berasal dari iklim tropis dan lembab seperti Bali. Tumbuh sebagai anak perkawinan campur, bapak Sunda Ibu Bali dan di masa kecilnya memeluk Islam, Agha juga kerap dipertanyakan ke-Bali-annya oleh lingkungan.
Pertanyaan-pertanyaan itu menggiring Agha menggali informasi alternatif tentang Bali. Di youtube ia menemukan film dokumenter Done Bali (1993), arahan sutradara Kerry Negara dari Australia. Film itu menyajikan analisa sosial politik dari citra Bali yang diromantisasi masyarakat barat sebagai surga (paradise). Konstruksi surga itu dimulai oleh penulis dan seniman dari zaman kolonial yang sering disebut era Mooi Indie seperti pelukis Walter Spies. Konstruksi itu kian dipertanyakan kini ketika turisme massal telah merongrong kualitas lingkungan dan sumber daya Bali yang sebenarnya ruang hidup warga lokal.
Done Bali mewawancara pelaku usaha, akademisi, pakar, seniman, sampai warga asing yang lama tinggal di Bali. Satu sosok yang sangat menarik perhatian Agha, terekam dengan rambut klimis dan berkaos kotak-kotak hitam putih seperti papan catur. Ia Igor Tamerlan. Ia musisi Agha baru tahu dari film itu.
Penasaran dengan Igor, Agha pun mencari karyanya dan menemukan lagunya yang pernah hits di tahun 1990an, Bali Vanilli. “Di zaman itu sudah ada yang memadukan gamelan dan musik elektronik tanpa menonjolkan eksotisme Bali, tanpa pretensi world music. Etos kerjanya mengagumkan,” kata Agha.
Agha pun menggali apa saja tentang Igor, dari sumber-sumber yang terbatas di internet, seperti tulisan-tulisannya dan video-video yang ia unggah di youtube berupa animasi tiga dimensi yang membutuhkan dedikasi tinggi untuk diproduksi sebagai karya amatir. "Saya cari tentang Igor di google sampai halaman terakhir."
Saya beberapa kali menonton Rollfast ketika tinggal di Bali tahun 2011-2013. Meski memainkan musik zaman bapak-bapak mereka, kehadiran Rollfast cukup menyegarkan, karena aliran musik yang mendominasi di Bali kalau tidak punk rock ya metal, dan pop berbahasa Bali.
Saya bertemu Agha lagi ketika ia tur ke Melbourne Oktober 2024. Agha dan kawan-kawannya datang sebagai Gangsar, mereka telah menanggalkan identitas Rollfast. Saya berhasrat menonton karena tidak banyak band yang berani berganti nama. Ini tidak seperti Peterpan menjadi Noah. Pendekatan bermusik mereka menjadi sangat berbeda. Lebih eksperimental adalah sebutan yang cendekia, untuk mengatakan lebih sulit dicerna. Dengan keterbatasan saya mendeskripsikan musik, saya merasa mereka terdengar dan terlihat sangat bagus.
“Rollfast artinya bergulir cepat. Pada suatu titik kami ingin lebih mengedepankan pengalaman lingkungan tempat kami hidup. Di Bali yang sehari-hari kita dengar di banjar atau di pura ya gamelan. Kami memakai elemen gamelan, lewat sampling, juga memainkan prinsip gamelan. Kami tidak ada yang nongkrong di banjar, main gamelan, tapi kepengin. Jadinya megambel tapi pakai gitar. Ketika cara bermusik kami berubah, nama Rollfast sudah tidak bisa mengakomodasi lagi. Ganti jadi Gangsar, artinya lancar jaya. Kami menyebut aliran Gangsar sebagai kodyacore, musik dari Kotamadya Denpasar,” kata Agha.
Agha tidak bisa melupakan pertemuannya dengan karya dan kesejarahan Igor yang mendorong metamorfosanya bermusik. “Igor anak kawin campuran suku yang diaspora di luar negeri lalu mencari identitasnya. Aku juga sebenarnya diaspora, tapi di dalam negeri. Aku juga kuliah arsitektur dan drop out. Ambisi Igor untuk menekuni musik juga awalnya ditentang keluarga. Kok banyak yang sama. Merasa relate dengan dia. Sepertinya kalau kita kenal, bisa berteman baik,” kata Agha.
Sebelum bertemu Gangsar di Melbourne, saya sama sekali tidak tahu kalau Agha dan Bayu gitaris Gangsar mengikuti karya Igor dan terinspirasi. Ketika bertukar cerita sebelum konser saya mengatakan sedang mengerjakan film dokumenter tentang Igor. Kami sama-sama tidak menduga, bisa bertemu di Melbourne dan membicarakan Igor. Sebelum itu saya belum berhasil menemukan musisi muda yang terinspirasi pada Igor.
Selain Agha dan Bayu saya sudah mewawancara 27 narasumber lain untuk materi film dokumenter tentang Igor yang sudah saya kerjakan sejak riset awal Januari 2024. Mereka di antaranya gitaris Balawan, penyanyi dan aktor Ayu Laksmi, Fariz RM, Anto Hoed, co-writer Bali Vanilli Koko Jeneng, mantan kekasih dan mantan istri, anak, sampai keluarga Igor di Prancis. Agha salah satu dari tiga narasumber yang tidak mengenal Igor secara personal, tapi meresapi karya-karya Igor.
Salah satu pertanyaan yang saya ajukan ke beberapa narasumber, seperti sauh yang menarik perhatian Agha pada Igor, adalah kenapa Igor suka memakai kaos bermotif papan catur (checkered, checkerboard). Mereka tidak terlalu ingat penjelasan Igor tentang ini, tapi Igor terkesan dengan filosofi Bali Rwa Bhineda, keseimbangan antara hitam dan putih, baik dan buruk yang dimanifestasikan dalam kain bermotif kotak hitam dan putih yang terlihat di mana saja di Bali.
Igor terekam pertama kali mengenakan kaos kotak hitam putih pada video klip Bali Vanilli yang dulu wara-wiri di televisi. Tadinya saya beranggapan ia memakai corak itu untuk mengidentifikasi dirinya sebagai musisi dari Bali, tanpa harus memakai busana tradisional seperti udeng dan kain. Ketika melihat fotonya lagi dari kliping media massa dengan busana berpola sama yang sama, saya menganggap ini suatu pernyataan berbusana, ada pesan di baliknya.
Jejak pertama pola baju checkered dari Igor yang saya temukan pada sampul majalah Variasi Putra edisi Juli 1981. Bisa dipastikan foto dan wawancara Igor di sana berlangsung setelah peluncuran album perdananya Langkah Pertama yang dirilis Musica Records. Duduk memegang saxofon, Igor mengenakan kaos putih The Specials bercorak kotak hitam putih yang menjadi ciri khas pada album, merchandise dan penampilan mereka. Saxofon dan kaos The Specials, sudah pasti si paling ska. The Specials pelopor 2 tone ska. Corak kotak hitam putih adalah simbol untuk merangkul konflik bernuansa warna kulit di Inggris pada era 60-70an. Mereka memainkan ritme musik ska yang bersemai dari Jamaika dengan energi punk dan new wave.
Igor meresapi musik ska seperti yang dimainkan The Specials. Pada album Langkah Pertama ia memasukan tiga nomor ska dan reggae. Lagunya Enak Skaly dianggap sebagai pelopor musik ska di Indonesia, liriknya tentang ska yang didedikasikan untuk raja dangdut Rhoma Irama. Bagi Igor, ska dan reggae adalah musik etno Jamaika, setaraf ragga di India, samba di Brazil dan dangdut di Indonesia.
Kepeloporan Igor pada ska dan reggae tercatat di buku tentang musik ska di Indonesia dan album kompilasi ska dan reggae. Setelah perjalanan bermusiknya, kepeloporan Igor terlupakan. Kenapa ini terjadi, bisa ditinjau dari resensi album Langkah Pertama yang ditulis Yudhistira ANM Massardi di majalah Tempo 1 Agustus 1981. Yudhistira mengeluhkan Igor tidak hanya setia pada aliran reggae. “Sebenarnya, kalau Igor mau memilih salah satu saja, reggae itu misalnya - yang belum banyak dimainkan pemusik lain di sini --kehadirannya bisa lebih tegas,” tulis Yudhistira.
Igor juga memainkan new wave, dance punk, pop, rock, elektronik, dub, rap, dangdut, dan gamelan. Bajunya hitam putih kotak-kotak, tapi aliran musik Igor tidak ingin terkotak-kotak.
* Pertemuan saya berikutnya dengan Agha di Denpasar pada Oktober 2025, dia sudah keluar dari Gangsar dan hanya menekuni profesinya sebagai bapak rumah tangga, proyek pribadinya @gumatatgumititgospel dan musik untuk scoring film teater dan hal-hal eksperimental lain
New compilation celebrates the music of francophile Igor Tamerlan
The Jakarta Post Monday November 10, 2025
M. Taufiqurrahman
Born Igor Tamerlan Djoehana Wiradikarta in 1954 in The Hague, the Netherlands, he spent most of formative years in Paris. But in 1986, he suddenly left France and relocated to Bali. His life journey in Indonesia would be as audacious as his time in the Fifth Republic.
"He wanted to settle in Indonesia and marry a local girl," Igor's brother Anda Djoehana tells an upcoming documentary on the musician's life and work.
During his brief stint at Sciences Po in Paris, Igor spent most of his time hanging out at recording studios and rubbing shoulders with the likes of singer-songwriter Jean-Jacques Goldman and Michel Polnaref. In the early 1970s, he had a brief encounter with The Rolling Stones at the Château de Thoiry studio.
But Igor's musical education and occidental eyes appeared ill-suited for Indonesia. His first record Langkah Pertama (First Step), released by mainstream label Musica, was met with a shrug and became a commercial
dud.
He moved to Bali and set up a state-of-the-art recording studio in Sanur, across the street from Southeast Asia's first boutique hotel where luminaries like Mick Jagger, David Bowie, Sting, Yoko Ono and Ringo Starr holidayed.
→
→
→
→
Experience
Igor Tamerlan's journey from Paris to Bali reflects his artistic evolution.
A true trailblazer.
Work
Paris
Gallery
2015
Showcased innovative art pieces.
Bali
Studio
2020
Created immersive art experiences.


Lost in Paradise
Igor Tamerlan's journey from Paris to Bali redefined art.
A visionary artist!
Alex
"
Contact
Get in touch with Igor Tamerlan.



