A documentary film about Igor Tamerlan, a pioneer beyond his time, only to be forgotten.
Igor Tamerlan: Musik Sebaiknya Tidak Dikendalikan Oleh Pasar
Bali Vanilli dianggap sedikit aneh, jauh berbeda dengan apa yang sering kita dengar dan nikmati selama ini. Aransemennya dikemas bergaya diatonis pentatonis sehingga kehadiran Bali Vanilli pantas menyulut tanda tanya, siapa lgor Tamerlan yang menciptakan dan membawakan lagu tersebut.
Harian Merdeka tahun 1991
11/2/20252 min baca


PELATARAN musik Indonesia, pada dua bulan terakhir ini dikagetkan, dengan hadirnya lagu Bali Vanilli, dan berhasil masuk ke dalam Top Hit Indonesia di beberapa radio, juga tercantum sebagai pilihan pemirsa pada paket “Selekta Top” TVRI.
Mungkin karena lagu itu sendiri dianggap sedikit aneh. Artinya jauh berbeda dengan apa yang sering kita dengar dan nikmati selama ini. Aransemennya dikemas bergaya diatonis pentatonis sehingga kehadiran Bali Vanilli pantas menyulut tanda tanya, siapa sebenarnya vokalis lgor Tamerlan yang menciptakan dan membawakan lagu tersebut, sementara nama itu nyaris tak pernah terdengar.
Igor adalah pemuda kelahiran Den Haag, 8 September 1954. Dia telah menetap selama lebih kurang 30 tahun di Prancis. Pernah sekali muncul di Indonesia ketika merilis albumnya yang pertama berjudul Langkah Pertama pada tahun 1981. Setelah itu kembali lagi ke negeri menara Eiffel sana.
"Waktu itu saya harus kembali untuk menvelesaikan study," kata Igor yang jebolan sekolah arsitektur Prancis jurusan tata kota dan akustik ini.
Kemudian dalam beberapa tahun belakangan ini, Igor kembali bermukim di Indonesia, tepatnya di pulau Bali, di sinilah muncul ide pembuatan lagu tersebut.
"Ide itu datang dari hasil pengamatan sava terhadap kultur Bali yang makin kehilangan eksistensinya,” kata anak kedua pasangan M Akbar Djuhana dan Tati Suwandi ini menjelaskan.
Mungkin di sinilah letak, keunikan lagu tersebut di lirik dan musiknya dinilai kurang diadaptasi dengan selera pasar yang sudah terbentuk. Sama halnya dengan album Igor yang pertama, dia justru memusikalisasikan puisi Rendra yang berjudul Lautan dan sebahagian lagi diambil dari sajak Chairil Anwar, Aku.
Sebagai musisi tangguh, pemuda yang menguasai bahasa Inggris, Prancis dan Belanda ini memang tak banyak bergelut di lintas musik komersial, musik-musik
yang disebut selera pasar.
“Dalam menciptakan lagu dan bermain musik, sebaiknya tidak dikendalikan oleh pasar, sehingga kepuasan batin bisa didapat,” ungkapnya.
Maka dari itu, Igor yang sudah menguasai midi programming sejak delapan tahun yang lalu ini ketika mendekam di Prancis lebih banyak mempelajari musik-musik etno, diantaranya Ska yang menjadi asal muasal musik reggae, atau jenis-jenis musik yang tergolong tidak trendy, seperti musik bangsa Afrika dan Eropa.
Sebenarnya pemuda yang berperawakan ramping ini pernah bercita-cita jadi pengusaha, tetapi ternvata musik telah lebih dahulu mendominasi keinginan tersebut. Bahkan insinyur arsiteknya pun ditelantarkan begitu saja. Teman dekatnya, koreografer Ati Ganda mengatakan bahwa ketika pertama kali Igor datang, dia sudah ditawari jabatan sebagai dosen di ITB Bandung, tapi tawaran itu dicuekin saja. Igor terus aktif bermain musik, dan membuat jingle selama berada di Bali.
“Masa depan musik lebih menjanjikan, ketimbang arsitek,” ujar Igor dalam bahasa Indonesia yang masih belepotan mencoba memberi dalih.
Dengan sikap seperti itu, warna musik yang dia ciptakan, orang-orang boleh menganggapnya unik, dia sendiri tak akan mencoba menampik, karena semua itu telah dibawanya semenjak lahir.
Orang tua saya berdarah Sunda Jawa, cerita lgor. Tahun 1931 mereka menikah di London, karena memang ibu bekerja sebagai penarí balet di sana, kemudian pindah ke Prancis. Di sana lahir kakak saya, lalu ketika mengunjungi nenek di Den Haag saya numpang lahir di tempat ini. Kembali lagi ke Prancis, selanjutnva adik saya lahir dan menetap.
"Nama saya sendiri diambil dari komposer Igor dan Tamerian adalah penjajah Mongolia. Klop kan,” katanya mengakhiri. (ZFZ/605)





