A documentary film about Igor Tamerlan, a pioneer beyond his time, only to be forgotten.
Artistry
Capturing a moment.
Igor Tamerlan: Antara Bali Kembali dan Eksploitasi
Visioner yang susah diajak kompromi. Sejak awal 1990an bicara tentang eksploitasi Bali, di jalan sepi.
Pertama kali dipubliksikan di akarumput.com Dec 1, 2011
Oleh Alfred Pasifico Ginting
Tahun 1991, rap bukan kata yang populer di Indonesia. Apalagi memahaminya sebagai ekspresi bermusik. Album Iwa K, yang disebut pelopor rap di Indonesia, keluar tahun 1993. Dua tahun sebelumnya, lagu Bali Vanilli yang penuh celotehan rap malang melintang di tangga lagu nasional, klipnya pun diulang-ulang di televisi.
Tapi Igor tidak pernah menyebut dirinya rapper. Seperti juga dia tidak pernah menyebut dirinya penyanyi reggae meski memelopori kehadiran musik reggae di Indonesia ketika merilis album “Langkah Pertama” tahun 1981. Di album itu Igor Tamerlan Djoehana Wiradikarta memasukkan tiga nomor reggae.
Di “Langkah Pertama” yang diproduksi Musica Studio, Igor mendedikasikan lagu Enak Sekali
untuk raja dangdut Rhoma Irama. Igor tak malu-malu menganggap musik reggae yang
digandrunginya sejak 1973, satu kelas dengan dangdut. Dia juga memasukkan sajak Rendra
(Lautan) dan Chairil Anwar (Aku) ke dalam komposisi musiknya. Ketika itu di Indonesia juga
belum dikenal istilah musikalisasi puisi. Entah hanya untuk sensasi atau memang merasa dekat
pada dunia sastra. Tapi menurut Igor, sajak-sajak itu ia temukan di sebuah antologi puisi
semasa ia di Paris (Tempo 7 Agustus 1981).
Tapi siapa yang mengingat Igor kini, selain menganggap namanya pernah melambung dan
hilang? Saya menelusuri Igor Tamerlan dalam proses penulisan buku “Blantika | Linimasa”.
Buku ini mendokumentasi perjalanan skena musik non-tradisional di Pulau Bali sejak jejak
kemunculannya tahun 1960an. Saya mewawancara beberapa orang yang banyak berkiprah di
skena musik Bali, salah satunya Jimmy Sila’a, pemilik studio rekaman Midi Aneka Suara dan
penata musik di Aneka Records. Sejak dekade 1980-an hingga saat ini nama Jimmy Sila’a belum
tergantikan sebagai penata musik pop Bali.
Sudah tiga tahun Igor pindah dari Bali ke Jogja. Saya berencana ke Jogja untuk mewawancara
Igor. Saya mengirimkan pesan kepada dia lewat facebook. Hampir sebulan saya menunggu,
tidak ada balasan dari Igor.
Saya pun menelusuri tentang Igor dari Jimmy. Menurut Jimmy, Igor terlalu visioner pada
zamannya. “Dia orang pertama di Bali yang membawa midi. Waktu belum ada orang yang
punya Macintosh, dia sudah pakai. Mungkin dia orang pertama di Bali yang pakai Mac,” kata
Jimmy.
Bahkan saking visionernya Igor, ucapannya sering dianggap bualan. “Ketika orang belum tahu
tentang Internet, dia sudah bilang ‘aku akan jualan musik di Internet’. Siapa yang percaya
omongan dia ketika itu? Tapi sekarang terjadi kan,” kata Jimmy.
Igor punya obsesi yang tinggi pada teknologi. Dia bisa memainkan semua instrumen musik,
meski kemampuannya tak luar biasa. Tapi Igor membawa rekayasa teknologi pada olahan
musik. Igor membuat apa yang ia sebut sebagai Teknogong. Wujudnya berupa alat musik
berbentuk kolintang besi tapi elektrik dan setengah synthesizer. “Dia sempat bikin dua, ada
yang memodali dia. Tapi tidak diteruskan,” kata Jimmy.
Igor tinggal 32 tahun di Prancis mengikuti ayahnya yang diplomat. Pria berdarah Sunda ini
memilih menetap di Bali ketika pulang ke Indonesia. Meski belajar arsitektur, Igor punya minat
besar di musik. Dalam hal ini, musik yang belum dikenal banyak orang di Indonesia. Perkawinan
musik tradisional dan modern telah lama menjadi obsesi Igor. Di Bali Vanilli ia menyanyikan rap
dalam bahasa Bali, diiringi tetabuhan Bali dan instrumen modern. Bali Vanilli terasa segar
apalagi dengan klip yang sangat nyeleneh, dibintangi oleh sebuah bemo.
Keinginan untuk mewawancara Igor semakin besar. Saya pun menghubungi dia lewat telepon.
Panggilan tidak terjawab. Saya mengirimkan pesan singkat. Dibalas. Igor bersedia diwawancara.
Tapi dengan syarat perlu sejumlah uang tertentu agar keinginan saya bertemu dia terwujud. Ia
tidak pernah menyebut uang itu sebagai imbalan, dan juga tidak meminta saya yang
menyediakannya. Tapi saya menganggap, saya memerlukan ia dan jumlah yang ia minta
sebenarnya tidak terlalu besar.
Namun teman-teman yang menggagas penerbitan buku, tidak bersedia menyediakan sejumlah
uang yang disebut Igor. Saya tetap ingin menemui Igor di Jogja dan menyediakan uang yang dia
perlukan dengan memotong honor saya menulis buku. Tapi tenggat penerbitan buku semakin
dekat, harus terbit saat Bali Creative Festival, 25-27 November 2011. Akhirnya saya menulis
bagian tentang Igor di buku Blantika | Linimasa dari perbincangan dengan Jimmy dan riset dari
arsip.
Tulisan tentang Igor selesai, dan suatu malam tanggal 12 November saya menerima pesan
lewat facebook dari Igor. “Maaf keadaan menghalang pertemuan kita.... Coba simak yang satu
ini. “BALI VANILLI 21ʺ by Igor Tamerlan.” Ia memberi pranala ke laman youtube.
Saya menonton video yang ia kirimkan. Bagian awalnya sangat mencengangkan. Ada narasi dari
ia yang muncul sebagai tokoh animasi, yang menyebut: “Inilah karyaku yang mutakhir dan
terakhir pula. Sebab pada saat Anda menyimak ini saya akan pergi untuk selamanya.”
Selesai menonton video itu saya langsung menelepon Igor. Ia mengangkat. Sebenarnya saya
tidak siap untuk pembicaraan itu. Kepalang tanggung.
Saya bilang baru melihat video yang ia kirimkan dan bertanya bagaimana kabarnya. Dia
bercerita tentang kegundahannya tentang kondisi lama dan masih aktual, yang dia coba
gambarkan lewat video itu. Saya lupa merekam pembicaraan selama 45 menit itu.
Saya bertanya dengan halus apa maksud pesannya pada awal video. Ia mengatakan sudah tidak
punya lagi harapan untuk hidup, baik secara spiritual maupun kreatif. “Saya ibarat pesawat
tanpa udara. Jatuh kan? Apa yang ada pada saya sekarang ini tinggal beberapa hari lagi,” kata
Igor yang terus terbatuk saat berbicara.
Ia juga mengatakan hanya tinggal punya sisa uang Rp150.000. Di Jogja ada sebuah keluarga
yang menyediakan salah satu ruangan di rumah mereka, untuk Igor tempati dan menjadi
studionya. Secara ekonomi, Igor merasa tidak ada lagi yang bisa ia jual. Dan secara kreatif, ia
merasa sendirian dengan ide-idenya untuk mengingatkan orang tentang eksploitasi alam dan
tradisi, serta hancurnya identitas kebangsaan Indonesia di tengah gempuran kekuatan modal
transnasional.
Saya mendengar keputusasaan dan kesepian di balik nada suara Igor. Kesepian yang mungkin
wajar, bila mengingat kesan Jimmy tentang Igor sebagai sosok yang sulit kompromi. “Sulit untuk
orang berbakat seperti dia, dapat proyek,” kata Jimmy.
Jimmy mencontohkan, Igor menciptakan jingle harian Bali Post. Di lagu itu Gito Rollies
bernyanyi. Entah bagaimana kontrak awalnya, suatu ketika Igor menuntut Bali Post untuk
membayar lagi royalti lagu itu, atau berhenti memutarnya. Sampai saat ini Bali Post masih
memakai jingle ciptaan Igor.
Meski sulit kompromi, dari karyanya Igor terlihat sebagai sosok yang punya rasa humor. Ia
punya kualitas satir yang terkadang metaforis, terkadang telanjang. Dalam videonya Igor
menghidupkan lukisan Walter Spies yang berjudul Die Landschaft und ihre Kinder (1939)
menjadi animasi. Selain pelukis, Spies juga koreografer. Dia bersama Wayan Limbak di tahun
1930an bekerja sama membuat koreografi tari kecak. Limbak termasuk seniman awal di Bali
yang mempromosikan keindahan Bali dengan berkeliling di luar negeri membawa pertunjukan
kecak.
Jejak lukisan Spies, kecak yang dibawa Limbak, dan karya seniman lain seperti Adrian Vickers
adalah promosi awal turisme Bali. Jargon pulau surga berhasil mengkonstruksi Bali hingga kini.
Pulau kecil ini hidup dari industri turisme yang tak pernah puas, selalu dipaksakan untuk
menerima investasi, seperti yang digambarkan Igor dengan jarum suntik di atas peta Bali pada
videonya.
Bali Vanilli bercerita tentang turis asing dan Bali. Kata Vanilli mengingatkan pada
skandal lipsync duo Milli Vanilli yang mengguncang musik pop dunia tahun 1989.
Kata Vanilli juga meningatkan pada kehebohan budidaya vanili hingga awal 1990an di
Indonesia. Ketika itu harga komoditas vanili sangat tinggi. Vanili menjadi trendi, dimana-mana
petani menanam vanili. Namun fenomena budidaya vanili mirip seperti cengkeh yang sempat
berjaya namun hancur karena tata niaga. Harga komoditas vanili seperti balon yang terus
dipompa, menggelembung dan akhirnya pecah.
Vanili tak laku. Petani di Sumatera, Jawa, Bali, hingga Sulawesi kesal dan akhirnya membakar
tanaman vanili mereka.
Antara Mili Vanilli dan tanaman vanili, mungkin Igor dalam Bali Vanilli bicara tentang konstruksi
dan ekploitasi tanpa batas. Kadang harus mengemas kepalsuan yang suatu saat bisa pecah. Bali
Vanilli masih kontekstual hingga kini. Bali tak berhenti dieksploitasi, meski daya dukungnya
sebagai pulau kecil sangat terbatas.
Ujaran-ujaran seperti “Bali tak ada bedanya dengan Jakarta” yang sering terdengar kini tentang
kemacetan di Bali, sangat wajar. Jelas Pulau Dewata tidak didesain sebagai metropolis, tapi
dipaksa menggendong infrastruktur pariwisata yang megah. Prof Ida Bagus Mantra, mantan
gubernur Bali, mengonsep Bali sebagai sebuah desa besar. Mantra tidak pernah
membayangkan di desa besar ini akan hadir jembatan layang atau jalan tol bila suatu saat
diperlukan untuk memecahkan masalah kemacetan.
Pada Bali Vanilli, Igor mengumbar lelucon pemahaman bahasa antara orang asing dan orang
Bali. Ada lirik “Hey mister foreigner, welcome kemari. I’m sure you would feel better, if you could
standunder me.” Kata standunder seperti sikap yang asing harusnya berdiri di bawah.
Bali Vanilli seperti menjawab lagu Kembalikan Baliku yang dilantukan Jopie Latul. Pada lagu
ciptaan Guruh Soekarno Putra tahun 1985 ini ada lirik: kembalikan Baliku padaku. Tuntutan
semi utopis, seperti meminta purifikasi Bali dari pengaruh asing.
Di Bali Vanilli, Igor menjawab: Di pulau Bali zaman sekarang ini/ Tetap bertahan adat dan tadisi/
Jika muda-mudi suka yang trendy/ Tak mungkin lagi Baliku kembali.
Kini, 20 tahun setelah Igor menciptakan Bali Vanilli, dan Bali digempur turisme dan eksploitasi
tanpa batas, masih mungkinkah Bali kembali ke orang (Bali)?
Cultural Fusion
Inspiring connections through diverse artistic expressions and cultural integration.
Lost in Paradise transformed my perspective on art and creativity.
Emma Lee
★★★★★
Artistic Journey